Rabu, 15 Juni 2011

Lustrum Fakultas Hukum Unand ke XII ( Ke 60)

Lecture Series Dalam Rangka 60 Tahun

Fakultas Hukum Unand

QUO Vadis Pemilukada

oleh Gamawan Fauzi(Mendagri)
Padang, 15 Juni 2011


Adalah sangat sulit untuk menemukan formula yang tepat dalam pemilihan kepala daerah dalam kondisi demokrasi yang masih muda seperti di Indonesia sekarang ini. Keberhasilan system demokrasi memerlukan adanya prasyarat kematangan masyarakat yang erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi mereka. Dalam masyarakat yang kondisi sosial ekonomi yang masih relative rendah maka partisipatoris demokrasi melalui pilkada langsung sering menghasilkan kekecewaan karena terjadinya money politics, primordialisme, kecenderungan terciptanya dinasti kekuasaan, moral hazard, dan aspek-aspek negatip lainnya dalam kehidupan berdemokrasi.
Mengambil pengalaman berbagai Negara yang berdemokrasi kita bisa melihat India hampir memerlukan setengah abad untuk konsolidasi demokrasi. Banyak Negara dengan tingkat ekonomi tinggi yang sampai sekarang enggan untuk menerapkan demokrasi. Namun Indonesia dengan kegagalan Orde Baru mensejahterakan masyarakat melalui pendekatan sentralisasi selama tiga dekade menyebabkan dianutnya kebijakan demokrasi yang salah satu derivatnya adalah penerapan otonomi yang seluas-luasnya ke daerah. Kita memasuki phase "the point of no return" dan demokrasi sudah merupakan keniscayaan yang harus kita kawal bersama dalam menjalankan pemerintahan.
Adalah juga sangat naif kalau kita berandai-andai bisa menyempurnakan system pilkada dengan menafikan aspek lainnya khususnya terkait dengan system politik yang ada sekarang. Ketika suatu Negara memasuki era demokrasi, maka salah satu pilar utama adalam adanya kematangan dalam kehidupan berpolitik. Sistem politik sekarang telah menyebabkan penerapan system presidential yang tersandera dalam system parlementer yang bersifat multi-partai. Tidak adanya kohesivitas antara kepala daerah terpilih dengan DPRD telah menyebabkan kebijakan-kebijakan daerah akan tersandera oleh kepentingan elite. Setiap kebijakan yang dibuat kepala daerah berpotensi akan di sandera oleh DPRD yang pluralistic dari aspek kepartaian. Akhirnya akan muncul kompromi-kompromi politik yang sering menelantarkan kepentingan rakyat.(A- Unand)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda