Minggu, 08 Agustus 2010

ANTARA DOSEN DAN TENAGA ADMINISTRASI PADA PERGURUAN TINGGI NEGERI

Detil Jurnal

Lihat Daftar

Volume : Vol. II, No. 9, 2003
Judul : Antara Dosen Dan Tenaga Administrasi Pada Perguruan Tinggi Negeri:
Isi Jurnal

ANTARA DOSEN DAN TENAGA ADMINISTRASI PADA PERGURUAN TINGGI NEGERI

Sebuah Paparan Fakta untuk Memotivasi Tenaga Administrasi bagi Peningkatan Profesionalismenya

Syuaiban Muhammad

Kabag Kepegawaian dan Tatalaksana, Dikti

Di kalangan masyarakat kampus perguruan tinggi, telah lama terbentuk opini bahwa tenaga dosen merupakan kelompok pegawai negeri sipil paling terhormat dan penting dibanding tenaga administrasi. Pendapat ini bukanlah hal yang berlebihan, tetapi didukung oleh suatu kenyataan bahwa kelompok tenaga ini diserahi mengemban tugas terpenting di perguruan tinggi, yakni melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat untuk menyiapkan kader-kader intelektual bangsa di masa yang akan datang. Tugas ini merupakan tugas pokok (substantif) perguruan tinggi apapun statusnya. sehingga pelaksana tugas ini yang kemudian dikenal dengan sebutan "dosen" menjadi sangat penting kcdudukannya. dan untuk itu dia menjadi sangat terhormat tidak saja di perguruan tinggi tetapi juga di masyarakat luas. Hal yang terpenting dari semua itu adalah bahwa tenaga dosen pasti dipandang sangat profesional di bidang tugasnya, karena kemandiriannya dalam mengelola proses belajar mcngajar bagi mata kuliah yang diampunya dan peserta didik yang dibimbingnya. Oleh karena itu sebutan jabatan dosen di awal perkembangan perguruan tinggi terutama di Indonesia, merupakan sebuah jabatan negeri yang memiliki makna khusus, elitis, berwibawa dan intelek dibanding kelompok tenaga kerja administrasi. Bahkan eksistensi tenaga administrasi sampai dengan akhir tahun 1979 hampir tidak kedengaran, karena dominasi sehutan jabatan dosen dengan segala karateristiknya telah menguasai pikiran, perasaan dan hati masyarakat kampus pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Hal lain yang juga ikut memperparah kondisi ini adalah ketidakjelasan dan ketidakpastian jenjang karier tenaga administrasi, di samping latar belakang pendidikan mereka yang rata-rata kurang mendukung sebuah publikasi pentingnya tenaga administrasi berikut bidang tugasnya pada sebuah perguruan tinggi negeri. Lebih dari itu. terciptanya kondisi ini juga merupakan akibat dari suatu proses sosial yang terjadi di kampus yang di dalamnya berlangsung permintaan dan penawaran jasa (mekanisme pasar) terhadap ke 2 (dua) kelompok tenaga tersebut, di mana kelompok tenaga dosen yang mampu menawarkan profesionalismenya menjadi sangat diperlukan, sementara tenaga administrasi yang kurang mampu menawarkan profesionalismenya menjadi kurang diperhitungkan, walaupun penting dan dibutuhkan dari sisi bidang tugasnya.

Pandangan yang berbeda terhadap ke 2 (dua) kelompok tenaga ini, untuk beberapa perguruan tinggi besar justru sangat menyakitkan hati, karena kondisinya sedemikian rupa tercipta sehingga memberikan kesan bahwa tenaga dosen merupakan kelompok tenaga kelas satu atau kelas elit, sementara tenaga administrasi merupakan kelompok tenaga kelas dua atau sering disebut dengan istilah karyawan yang berkonotasi sebagai pegawai rendahan.

Kondisi ini cukup memprihatinkan pejabat Depdiknas pusat khususnya di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1970-an, di mana ketika itu kelompok tenaga administrasi pada perguruan tinggi negeri belum memmliki kejelasan dan kepastian jenjang kariernya di lingkungan organisasi perguruan tinggi negeri. Oleh karena itu pemikiran dan upaya-upaya ke arah perubahan pandangan yang telah lama mengental ini menjadi perhatian tersendiri dalam kerangka pembinaan pegawai negeri sipil di lingkungan perguruan tinggi, agar tenaga administrasi kelak menjadi tenaga yang diperhitungkan dan mendapat tempat terhormat untuk bidang tugasnya. Ibarat gayung bersambut. maka ketika ada pemikiran dari pimpinan Ditjen Dikti untuk menyusun peraturan pemerintah tentang organisasi perguruan tinggi, pemikiran ini sempat diakomodasi di dalam rancangan peraturan pemerintah yang kemudian menjadi PP No.5 Tahun 1980, tcrutama mengenai penetapan jabatan-jabatan struktural administratif pada perguruan tinggi negeri scbagai jenjang karier tenaga administrasi. Dengan demikian sejak tahun 1980 kelompok tenaga kerja administrasi pada perguruan tinggi negeri ialah memiliki jenjang karier yang jelas, dengan ditetapkannya eselonisasi jabatan struktural administrasi dari eselon IV sampai eselon II, dengan jumlah eselon II dan IV yang cukup memadai sesuai dengan ruang lingkup bidang tugas dan beban kerja tugas adminisitrasi yang diemban oleh perguruan tinggi negeri. Kejelasan dan kepastian tentang karier tenaga administrasi yang ditetapkan melalui PP No.5 Tahun 1980 ini memberikan kontribusi sangat signifikan bagi upaya memotivasi tenaga administrasi dalam meningkatkan profesionalismenya. Ternyata untuk beberapa perguruan tinggi negeri, telah terjadi perubahan cukup signifikan dan drastis, di mana tenaga adminisitrasi menjadi bangkit dan mampu merubah citra dirinya yang selama ini terpuruk menjadi kelompok tenaga yang cukup diperhitungkan karena profesionalismenya. Dengan demikian satu butir, yang perlu dicatat bahwa kepastian jenjang karier tenaga administrasi pada perguruan tinggi negeri mengandung nilai daya dorong tinggi terhadap peningkatan profesionalisme mereka, baik kini maupun ke depan di dalam melaksanakan tugasnya di lingkungan perguruan tinggi negeri.

Oleh karena itu. ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian serius dan para pengambil kebijakan di perguruan tinggi negeri, dalam kerangka pembinaan pegawai negeri sipil di lingkungannya :

  1. Sejauh mungkin menghindari kebijakan pemanfaatan tenaga dosen untuk menduduki jabatan struktural administrasi dan mendorong secara optimal tenaga administrasi untuk mencapai jabatan puncak Kepala Biro sebagai akhir dari jenjang kariernya pada perguruan tinggi negeri. Kebijakan pemanfaatan sementara tenaga dosen untuk menduduki jabatan Kepala Biro atau Kepala Bagian di lingkungan perguruan tinggi negeri telah dicabut dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan tinggi No. 1641/D/C/1987 tanggal 18 Juli 1987, yang ketika itu berlaku masa transisi 5 (lima) tahun sejak tahun 1982 (efektifnya organisasi perguruan tinggi negeri berdasarkan PP No. 5 Tahun 1980) sampai dengan tahun 1987. Oleh karena itu. pembinaan tenaga administrasi secara optimal untuk menduduki jabatan puncak Kepala Biro pada universitas dan inistitut negeri serta Kepala Bagian pada Sekolah Tinggi dan Politeknik negeri harus menjadi bagian dari kebijakan pembinaan pegawai di lingkungan perguruan tinggi negeri, agar kejelasan dan kepastian jenjang karier tenaga administrasi yang telah ditetapkan oleh Pp No.5 Tahun 1980 tetap memiliki daya dorong tinggi terhadap peningkatan profesionalisme mereka dalam menjalankan tugasnya.
  2. Pembinaan kepangkatan tenaga administrasi harus sejalan dengan pembinaan kualitas kemampuannya untuk mengeliminasi sebuah kultur mengejar jenjang kepangkatan dan persyaratan formal lain yang terukur dengan meninggalkan upaya-upaya dari diri sendiri dalam rangka peningkatan profesionalismenya untuk menduduki sebuah jabatan struktural. Dengan cara seperti inilah, akan timbul sebuah kesadaran yang benar, bahwa upaya pemenuhan persyaratan formal untuk menduduki sebuah jabatan struktural adalah hal yang penting, tetapi akan menjadi lebih penting apabila dibarengi pula dengan standar kualitas kemampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas, sejalan dengan amanah dan sistem pembinaan pegawai negeri sipil berdasarkan UU No. 8 Tahun 1974 yang kemudian disempurnakan terakhir dengan UU No. 43 Tahun 1999 tcntang Pokok-pokok Kepegawaian Republik Indonesia. Sistem itu merupakan gabungan dan pembinaan pegawai negeri sipil berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja, yang pada intinya menghendaki adanya gabungan yang harmonis antara standar yang bersifat kuantitatif yang berjalan secara alamiah, dan standar yang bersifat kualitatif yang tumbuh meningkat terus menerus berdasarkan inisiatif dan kreativitas yang selalu timbul di dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Apabila tenaga administrasi selalu siap dibina dan membina diri sendiri dalam kerangka sistem gabungan pembinaan pegawai negeri seperti ini, maka profesionalisme yang selalu menjadi milik tenaga dosen itu juga menjadi milik tenaga administrasi sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dan ini pulalah yang kemudian membuat tenaga administrasi menjadi penting, disegani dan diperhitungkan. OIeh sebab itulah, maka PP No.15 Tahun 1994 yang kemudian disempurnakan terakhir dengan PP No. 13 Tahun 2002, justru mensyaratkan kemampuan manajerial dan teknis sebagai persyaratan utama sebelum persyaratan formal seperti pangkat, DP3 dan lain-lain dalam menduduki sebuah jabatan struktural. Dengan demikian, hal yang menyebabkan tenaga administrasi kehilangan eksistensinya selama ini bukanlah karena tidak pentingnya tugas administrasi, tetapi karena pelaksana tugas administrasi kurang atau tidak profesional (seperti kurang atau tidak cekat, cepat dan tepat serta kurang atau tidak kreatif, berinisiatif atau proaktif) dalam melaksanakan tugas jabatan yang diembannya. Perguruan tinggi negeri sebagai sebuah organisasi tidak mungkin dapat melaksanakan tugas pokoknya yang diemban oleh dosen tanpa tugas pelayanan atau tugas administrasi yang diemban oleh tenaga administrasi. Oleh karena itu dari sisi masingmasing, kedua-duanya sama penting dan saling membutuhkan. Tenaga administrasi memerlukan tenaga dosen karena tugas pelayanan menjadi ada karena pelaksanaan tugas pokok yang dilaksanakan oleh dosen, dan sebaliknya tenaga dosen memerlukan tenaga administrasi untuk menunjang pelaksanaan tugasnya di lapangan. Satu hal yang perlu menjadi bahan perenungan tenaga administrasi di perguruan tinggi negeri, bahwa apabila pimpinan perguruan tinggi negeri mengabaikan tenaga adminisitrasi karena profesionalismenya disangsikan, dan kemudian cenderung memanfaatkan tenaga dosen untuk menduduki jabatan struktural administrasi, hal ini merupakan pertanda betapa tidak sederhananya tugas administrasi pada perguruan tinggi negeri. Apalagi dengan telah dinaikkannya tunjangan jabatan struktural administrasi yang begitu tinggi, apabila tanpa diimbangi dengan profesionalisme tenaga administrasi untuk mengemban amanah jabatan tersebut, maka akan mengundang kebijakan pimpinan yang terkesan menjadikan tenaga administrasi sebagai anak bawang di negerinya sendiri, dan akan dimanfaatkan tenaga dosen sebagai pimpinan tenaga administrasi.

Semoga tulisan ini dapat mendorong tenaga administrasi pada perguruan tinggi negeri untuk lebih dini menyiapkan diri menjadi lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya, sehingga pilihan tetap jatuh pada dirinya untuk mengemban tugas jabatan struktural administrasi yang memang berdasarkan gagasan awal disiapkan untuk dirinya.

2 Komentar:

Pada 13 Oktober 2010 pukul 01.00 , Blogger Unknown mengatakan...

Ulasan Anda cukup menghibur, namun pada kenyataanya hal tersebut masih terjadi sampai sekarang. Saya sendiri merasa terjebak dan terpuruk bekerja di lingkup seperti ini. Walaupun saya sudah berusaha untuk meningkatkan pendidikan dengan jalan mencari beasiswa dari luar instansi saya (karena memang tidak ada utk alokasi bagi pegawai) sampai mendapat gelar master, namun ya tetap kembali ke universitas/fakultas untuk menjadi jongos/pembantu bagi para dosen.
SALAM

 
Pada 10 Januari 2011 pukul 07.46 , Blogger Ampera Warman mengatakan...

Jangan menyesal, semua pekerjaan itu mulia yang sombong tersebut cuma manusianya, lupa diri rasanya dunia milik dia sendiri, dia yang paling hebat, profesi dia segala-galanya. Dak ada itu, kerjakan apa yang menjadi tanggung jawab yang digariskan negara, kata siapa jadi pembantu dosen....

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda