Sabtu, 18 Juni 2011

Membangun Kejujuran dan Kesantunan


Oleh: Ki Supriyoko
Penulis adalah Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang.

Bahwa kinerja pendidikan nasional kita sampai sekarang ini masih jauh dari memadai kiranya tidak perlu diperdebatkan. Kita menyadari rendahnya prestasi akademis siswa dan mahasiswa kita pada umumnya; baik kalau diukur secara internal maupun eksternal.

Secara internal prestasi siswa kita relatif rendah bila dilihat dari capaian nilai ujian sekolah, prestasi UASBN, kelulusan Ujian Nasional (UN), dan sebagainya. Secara eksternal, prestasi siswa kita pun menyedihkan; misalnya, prestasi fisika dan matematika dalam Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS), kemampuan membaca dalam Progress in International Reading and Literacy Study (PIRLS), prestasi keterampilan dalam The Programme for International Student Assessment (PISA), dan sebagainya.

Kalau rendahnya berbagai prestasi tersebut menunjukkan rendahnya kemampuan otak kiri siswa Indonesia pada umumnya; apakah itu berarti otak kanan siswa kita bisa dibanggakan? Pertanyaan ini sulit dijawab karena masalah kejujuran dan kesantunan siswa kita juga mulai menipis. Kita lihat saja hasil penelitian Puspendik Kemendiknas yang menunjukkan rendahnya kejujuran dalam pelaksanaan UN di sekolah dan madrasah.

Menghilang
Kalau kita mau jujur, masalah kejujuran dan kesantunan yang kelihatannya sederhana seperti itulah yang sekarang ini mulai menghilang dari khasanah pendidikan nasional kita.
Apakah kemajuan teknologi yang sangat pesat dan merambah lembaga pendidikan akhir-akhir ini secara otomatis akan mengikis kejujuran dan ke-santunan siswa kita? Tidak! Buktinya masyarakat Jepang bisa mensinergi-kan teknologi, kejujuran dan kesantunan menjadi potensi yang dahsyat.
Secara historis kejujuran dan kesantunan sangat ditekankan oleh Kaisar Matsuhito atau yang lebih dikenal dengan sebutan Meiji Tenno. Meski pada tahun 1868 ketika diangkat sebagai kaisar masih berusia belasan tahun, Sang Kaisar sudah bertekad merebut teknologi Barat dan mengkombinasi-kan dengan kejujuran dan kesantunan yang dimiliki Jepang.

Di Jepang, kejujuran dan kesantunan itu merupakan buah pendidikan sehingga berimplikasi riil dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bangsa Jepang dikenal sangat jujur. Bila seseorang melakukan ketidakjujuran maka taruhannya adalah bunuh diri.
Bagaimana dengan kesantunan? Kalau di kereta api ada orang tua yang berdiri maka orang yang lebih muda akan memberikan tempat duduknya; kalau dalam lift ada beberapa orang maka yang memencet tombol adalah orang yang lebih muda, sementara kalau mau keluar lift maka orang yang tua dipersilakan melangkah terlebih dahulu; dan sebagainya. Ini merupakan implikasi sikap kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.

Kejujuran dan kesantunan seperti itulah yang sekarang hilang atau seti-daknya makin menipis dalam pendidikan nasional kita. Kalau diamati, para koruptor di negeri ini umumnya kaum terpelajar yang nota bene lulusan sekolah atau perguruan tinggi kita. Hal itu mencerminkan sekolah dan perguruan tinggi kita tidak mampu membekali sikap dan perilaku jujur bagi para lulusannya.
Bagaimana dengan kesantunan? Di kota-kota besar sekarang banyak siswa yang tidak kenal dengan gurunya; dan atas ketidak-kenalannya itu rasa kesantunannya menjadi memudar. Jangankan mau menekankan tombol lift atau membukakan pintu, berpapasan di jalan pun sang siswa terkadang bersikap acuh tak acuh dan enggan bertegur sapa.

Sekarang banyak siswa kita bangga kalau mampu menembus Sekolah Berstandar Internasional (SBI); orang tua beserta keluarganya pun sangat memberi dorongan dan dukungan agar putra-putrinya berhasil meraih kursi di SBI. Hal itu sangat mudah dimaklumi oleh karena SBI memang sedang ngetrend meskipun untuk dapat memasukinya haruslah mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Di tingkat perguruan tinggi, para mahasiswa sangat bangga kalau lem-baganya diakui oleh masyarakat dunia sebagai universitas berkelas dunia atau World Class University (WTU). Apalagi, perguruan tinggi di Indonesia yang mampu meraih predikat WTU relatif sangat sedikit jumlahnya; kalau PTN seperti UI Jakarta, ITB Bandung dan UGM Yogyakarta, sementara itu kalau PTS juga ada meskipun di peringkat yang rendah.

Membanggakan SBI (yang benar-benar SBI) dan WTU (yang benar-benar WTU) tentunya sah dan tidak salah. Masalahnya, pengembangan SBI dan WTU di Indonesia kurang memperhatikan kejujuran dan kesantunan. Jangan heran kalau banyak siswa SBI dan mahasiswa WTU yang sikapnya egois, kurang perhatian,tidak toleran, merasa pintar sendiri, mengabaikan keunggulan orang lain, dan sikap-sikap destruktif yang lainnya.

Menyeimbangkan kecerdasan dan keterampilan dengan kejujuran dan kesantunan mutlak diperlukan untuk mengembangkan pendidikan nasional Indonesia sekarang ini. (dikutip dari harian Haluan Riau Pos)


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda